Di mana-mana, komentator pasti tampak lebih pintar dari pemain di lapangan. Ia selalu dapat melihat celah, mengkritisi, kadang menawarkan solusi, tapi tak jarang juga yang sekadar komentar untuk mencaci.
Jika kita terlalu sibuk merespon mereka ini, ah, betapa rugi. Waktu terbuang percuma dan tak pernah kembali. Bahkan, bisa saja kita justru menderita luka di hati.
Padahal, komentator dan pencaci itulah yang mestinya menderita. Sebab, mereka semburkan komentar karena keberadaan kita mengganggu mata dan batinnya.
Sepanjang apa yang kita lakukan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah dan ketentuan Allah Ta'ala; dan selama tak ada problem dengan akhlak serta muamalah kita, mending kita abaikan mereka. Sebab, jika kita merasa terganggu lalu bereaksi, mereka akan gembira.
Misal, mereka komentari gamis atau jilbab anak istri kita. Alih-alih minder atau surut, mestinya kita makin tunjukkan militansi terhadap syariat Allah Ta'ala. Sajikan sebaik-baik akhlak dan muamalah di hadapannya. Siapa tahu, itu dapat melunakkan hatinya.
Namun, andai militansi kita justru makin membuat mereka sakit hati dan merana, itu bagus buat mereka. Seperti pil kina yang pahitnya sedunia tapi mujarab untuk penderita malaria. Andai diberi obat sirup rasa jeruk, belum tentu akan menjadi wasilah kesembuhannya.
Kadang, kita perlu bersikap seperti pegas kepada para komentator, pencaci, dan orang-orang seperti mereka. Semakin nyinyir dan busuk komentarnya menekan kita, semakin kuat daya tolak kita. Semakin mereka nyinyir pada syariat Allah Ta'ala, semakin kita tunjukkan kecintaan dan kepatuhan kita pada setiap ketentuan-Nya.
Setelah itu, anggap mereka tidak pernah ada. Kita sibukkan diri beramal dan tinggalkan saja mereka dengan derita batinnya. ^^
.
.
.
From Abunnada