Ceritanya begini,
Bapak ini, pengangkut sampah.
Saat kuhampiri dan kutawarkan nasi,
Beliau dengan sumringah mengucap syukur.
Lalu ia berkata,
“Dipoto dulu mas, buat laporan kan?”
Deg.
Padahal aku tak berniat memotonya, karena posisi berhenti kami persis di depan jalan.
“Pak, maaf ya kalau menyinggung bapak.”
“Ga apa-apa mas, kalau orang miskin dapet nasi aja seneng. Walaupun jadi ga punya muka.”
Ya Rabb..
Faghfirlii
Faghfirlii..
Lantas aku duduk menemaninya.
Berceritalah dia.
Dulu, saat awal-awal ada yang bagi nasi ia sangat malu ketika harus difoto. Bahkan sempat tersinggung dengan seorang ibu berkacamata yang menjulurkan nasi dari mobil mewah mengkilap (bapaknya bilang gitu, mobil mewah mengkilap).
Namun seiring waktu, perut ternyata lebih penting dari ego.
Ia tak lagi berkeberatan difoto, tak juga mempermasalahkan cara orang2 yang membagi nasi dengan menjulurkan bungkusan dari kaca mobil.
Asalkan sebungkus nasi bisa mengganjal perutnya.
“Ya mas, kalo dapet nasi kan bapak bisa nyisihin 10 ribu buat dibawa pulang.” Katanya sambil menyuap nasi bungkus.
Aku rasanya ditabok-tabok sama si bapak.
Ya Allah..
Jangan sampai kedermawanan membuat kami lalai.
Jangan sampai sebungkus nasi merendahkan mereka.
Jangan sampai hati mereka terluka.
Jangan sampai kesombongan mampir di benak kita saat memberikan nasi.
Ah, pak.
Doakan saya dan teman-teman Nasi Gratis Jogja agar bisa berbagi tanpa melukai ya pak.
Doakan kami agar bisa berbagi namun tetap menghargai.
Karena sungguh, kita sedang memperjuangkan surga.
Jangan sampai, perjuangan ini ternoda dan kita tergelincir bersama dalam kobaran api neraka.
Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Doakan kami ya teman-teman agar selalu lillah dalam perjuangan ini.
Dan kami pun selalu mendoakan teman-teman, agar Allah luaskan rezekinya untuk terus membersamai dalam ikhlas bersedekah.
Allah yubaarik fiikum.